: Catatan Ramban oleh Mashuri Alhamdulillah
Sudah menjadi pemahaman umum bahwa Kerajaan Janggala berada di
Sidoarjo, Jawa Timur. Toponim nama itu masih berputar-putar di alam
gungliwang-liwung untuk menemukan kepastiannya. Namun, yang menarik adalah
adanya pendapat yang menyaran bahwa toponim Janggala berasal dari kata ‘Ujung
Galuh’, sebagaimana yang terwarta dalam berita Cina pada masa lampau,
Jung-Ya-Lu. Karena faktor perubahan bunyi, Ujung Galuh menjadi Junggaluh, dan
akhirnya menjadi Janggala atau Jenggala. Repotnya, Ujung Galuh terlanjur
diklaim oleh ‘sejarawan’ Surabaya berada di wilayahnya, sehingga masa lalu kota
buaya itu mendaku diri sebagai Ujung Galuh atawa Hujung Galuh, meskipun kata Churabaya
sendiri sudah dikenal, dan dikekalkan dalam prasasti tinggalan Airlangga, yaitu
Prasasti Kamalagyan.
Bisa jadi, klaim dan rebutan tua itu terjadi karena pada masa
lalu Sidoarjo, yang dulunya bernama Sidokare, berada dalam satu wilayah
administrasi dengan Surabaya sebelum pemekaran wilayah pada masa pemerintahan
kolonial Belanda. Sebagaimana diketahui, baru pada 31 Januari 1859, wilayah
Sidoarjo berdiri sebagai daerah otonom dengan nama Kadipaten Sidokare, dan tiga
bulan kemudian namanya diubah menjadi Sidoarjo karena nama yang pertama
dianggap kurang membawa hoki dan bikin keki.
Namun, tak ada kata Janggala, apalagi Sidoarjo, dalam Kakawin
Arjunawiwaha, yang dianggap sebagai karya sastra tertua yang pernah dihasilkan
oleh kerajaan yang pernah berdiri di atas wilayah Sidoarjo kini, yakni
Kahuripan, meskipun hingga detik ini belum maujud dalam kepastian hakiki. Hal
itu karena kakawin karya Rakawi Kanwa itu hanya memparalelkan posisi Airlangga,
penguasa Kahuripan dengan Arjuna. Demikian banyak para ahli sastra kuno
berikhtiar membaca Arjunawiwaha, termasuk Kats (1912), Poerbatjaraka (1926),
Berg (1938), Moens (1950), Zoetmolder (1983), dan Wiryamartana (1990), bahkan
ketika ada yang menghubungkan Arjunawiwaha sebagai lampah Airlangga, bahkan
terkait dengan silsilah Airlangga, sebagaimana Moens (1950), yang bagi
Zoetmolder (1983) dianggap sebagai menggantang asap (Wiryamartana, 1990: 9).
Realitas bahwa karya tersebut dipersembahkan kepada Airlangga
adalah benar, tetapi mengaitkannya dengan biografi Airlangga tidaklah dapat
semena-mena. Ada kaidahnya, meski kini banyak orang tidak menyukai hal-ihwal
berbau kaidah. Bahkan, karya itu dibaptis bukan sembarangan karya tapi sebuah
karya beraroma adikodrati, berbalur doa, sebentuk martil untuk menggedor pintu
langit. Karya itu digurat Rakawi Kanwa ketika Airlangga berperang dan berharap
Sang Prabu memeroleh kemenangan.
Hal itu sebagaimana tersurat pada akhir Arjunawiwaha: “Sampun
keketan ing kath Arjunawiwaha ta pangaran ika saksat tambay ira mpu Kanwa
tumatametu-metu kakawin brantapan teher angharep samarakarya mangiring i haji
sri Airlangga namastu sang panikelanya tanah anumata.” (Wiryamartana, 1990:
123—124).
Kita kembali ke soal Kerajaan Janggala. Di antara para ahli
prasasti, yaitu Susanti (2010) dan Bochari (1968; 2018) menyimpulkan bahwa
batas antara Jenggala-Panjalu/ Daha adalah Kali Lamong, induk Kali Lanang di
kawasan Ngimbang, Lamongan, berdasarkan pada sebaran prasasti tinggalan
Airlangga di Lamongan selatan, meskipun Krom (1931) menyebutnya Kali Brantas,
dan Muljana (2006) menyebutnya sebagai Kali Porong.
Ihwal itu, Susanti (2010) berdalih kali yang disebut dalam
artefak masa Airlangga adalah Kali Widas, alias Brantas. Tinggalan tersebut
berupa Prasasti Kamalagyan yang berada di Dusun Kemlagen, Desa Tropodo,
Kecamatan Krian, Sidoarjo. Disebutkan usaha-usaha Airlangga untuk membuat
sebuah bendungan untuk melindungi rakyat dan sawah-sawahnya dari banjir, karena
ada orang-orang yang ingin melakukan sabotase. Bendungannya disebut Waringin
Sapta. Inilah salah satu argumen Susanti (2010) bahwa kali yang ‘dibuat’ oleh
Bharada sebagai pemisah Janggala-Panjalu adalah Kali Lamong bukan Kali Porong
sebagaimana klaim Muljana (1979; 2009) karena pada masa Airlangga, Kali Porong
belum terbentuk karena Brantas masih setia pada jalurnya mengalir ke utara dan
sesekali ia meluap ke timur membanjiri perkampungan dan sawah, sehingga perlu
dibuat semacam bendungan.